"Kapan nikah?"
Mari berbicara tentang penikahan.
Untuk sebagian orang, menikah adalah sebuah pencapaian hidup. Kemudian muncul berbagai ekspektasi mendalam mengenai calon pasangan sehidup semati ideal yang di impi-impikan. Bagaimana apabila sebuah pernikahan tidak berhasil? Apakah pencapaian hidup menjadi gagal?
Setiap orang memiliki perspektif masing-masing mengenai menikah dan berbahagia karena menikah. Gw adalah bagian dari sekelompok orang yang tidak memandang pernikahan sebagai tujuan hidup, sehingga memberikan target kapan menikah dirasa tidak perlu.
Arti pernikahan lebih mendalam dari sekedar mendapatkan laki-laki yang dapat menjaga dan menjamin kehidupan. Mandiri secara finansial dari orangtua dan suami, dapat berdiri di kaki sendiri adalah cita-cita yang besar bagi gw, maka dari itu gw tidak pernah berpikir bahwa menikah itu adalah jaminan yang menggiurkan.
Pernikahan membutuhkan komitmen yang sangat besar dan membutuhkan segala hal yang mendalam. Bagi gw, menemukan pasangan yang bisa diajak bersama-sama menyelami kehidupan adalah perkara yang tidak mudah.
Bertahan dalam sebuah pernikahan sudah dipastikan tidak semanis ketika baru berdekatan, bahkan perjuangan bertahan sudah dirasakan ketika berpacaran.
Sayangnya, sebagian besar dari mereka melihat pernikahan hanya sebatas keharusan, terlebih bagi perempuan.
"Kapan nikah?"
"Mana jodohnya?"
"Keburu ketuaan loh"
"Apa kata orang kamu belum nikah?"
Salah satu alasan mengapa semua ini terjadi mungkin karena wanita memiliki biological clock yang terus mengejar. Alasan lainnya? Orangtua ingin memiliki cucu, orangtua merasa menikahkan anak adalah goals bagi mereka, orangtua merasa bahwa anak perempuannya harus dijaga oleh 'laki-'laki, sosial berkata bahwa belum menikah adalah kesalahan/aib/ apapun itu, dan sebagainya.
Entahlah, seolah bahagianya orangtua adalah melihat anaknya menikah dan kesuksesan seakan bukan kebahagiaan yang terhitung.
Seolah-olah menikah adalah hal yang dapat membahagiakan anaknya.
Bagaimana jika tidak?
Isu menikah sering sekali dibahas diberbagai media sosial, salah satunya Twitter. Mulai dari pertanyaan "kapan nikah?!" yang ditanyakan keluarga besar ketika bertemu, trik cara menjawab pertanyaan barusan, dan tumpahan kekesalan ketika dituntut untuk menikah oleh kedua orangtuanya.
Gw sebagai manusia berumur 21 tahun mulai kesenggol dikit dengan isu menikah. Udah cukup banyak temen seusia gw yang tunangan dan menikah, gak sedikit temen gw yang belum nikah merasa bahwa dikit lagi adalah waktunya menikah, dan beberapa tahun kedepan kami si generasi 97 akan mendapatkan pertanyaan menyebalkan "kapan nikah?" yang mungkin lama kelamaan akan terdengar menyebalkan.
Mungkin nantinya kekesalan gw sama orangtua karena mereka minta gw buat bersihin kamar berubah jadi kekesalan karena diminta untuk ngenalin calon pasangan. IDK! bisa aja terjadi. Karena mereka tipikal "aduh gimana itu belum menikah" pada sepupu yang sudah cukup berumur dan belum mengenalkan pasangannya. Problematika dimasa yang akan mendatang.
Gak, gw gak memandang pernikahan sebagai sesuatu hal yang negatif, terus seolah gw menghindarinya. Gw mau nikah, tapi gw gak suka dengan ide menikah karena kebutuhan, menikah karena harus menikah, dan menikah karena perempuan membutuhkan sosok laki-laki yang menjaga/menafkahi dan omong kosong lainnya. Gw juga gak berbicara menikah dari sudut pandang agama, karena kalo udah mengacu kesana, seolah bernafaspun manusia salah.
Gw tidak pernah masalah dengan sekumpulan orang yang memandang pernikahan sebagai sebuah pencapaian hidup yang sangat penting. Setiap orang memiliki perdebatan dirinya masing-masing dan setiap orang memiliki cara tersendiri untuk hidup sebagaimana yang diinginkannya.
Tapi gw adalah bagian dari sekelompok orang yang memandang pernikahan lebih dari sekedar menggantungkan diri pada pasangan.
Untuk sebagian orang, menikah adalah sebuah pencapaian hidup. Kemudian muncul berbagai ekspektasi mendalam mengenai calon pasangan sehidup semati ideal yang di impi-impikan. Bagaimana apabila sebuah pernikahan tidak berhasil? Apakah pencapaian hidup menjadi gagal?
Setiap orang memiliki perspektif masing-masing mengenai menikah dan berbahagia karena menikah. Gw adalah bagian dari sekelompok orang yang tidak memandang pernikahan sebagai tujuan hidup, sehingga memberikan target kapan menikah dirasa tidak perlu.
Arti pernikahan lebih mendalam dari sekedar mendapatkan laki-laki yang dapat menjaga dan menjamin kehidupan. Mandiri secara finansial dari orangtua dan suami, dapat berdiri di kaki sendiri adalah cita-cita yang besar bagi gw, maka dari itu gw tidak pernah berpikir bahwa menikah itu adalah jaminan yang menggiurkan.
Pernikahan membutuhkan komitmen yang sangat besar dan membutuhkan segala hal yang mendalam. Bagi gw, menemukan pasangan yang bisa diajak bersama-sama menyelami kehidupan adalah perkara yang tidak mudah.
Bertahan dalam sebuah pernikahan sudah dipastikan tidak semanis ketika baru berdekatan, bahkan perjuangan bertahan sudah dirasakan ketika berpacaran.
Sayangnya, sebagian besar dari mereka melihat pernikahan hanya sebatas keharusan, terlebih bagi perempuan.
"Kapan nikah?"
"Mana jodohnya?"
"Keburu ketuaan loh"
"Apa kata orang kamu belum nikah?"
Salah satu alasan mengapa semua ini terjadi mungkin karena wanita memiliki biological clock yang terus mengejar. Alasan lainnya? Orangtua ingin memiliki cucu, orangtua merasa menikahkan anak adalah goals bagi mereka, orangtua merasa bahwa anak perempuannya harus dijaga oleh 'laki-'laki, sosial berkata bahwa belum menikah adalah kesalahan/aib/ apapun itu, dan sebagainya.
Entahlah, seolah bahagianya orangtua adalah melihat anaknya menikah dan kesuksesan seakan bukan kebahagiaan yang terhitung.
Seolah-olah menikah adalah hal yang dapat membahagiakan anaknya.
Bagaimana jika tidak?
Isu menikah sering sekali dibahas diberbagai media sosial, salah satunya Twitter. Mulai dari pertanyaan "kapan nikah?!" yang ditanyakan keluarga besar ketika bertemu, trik cara menjawab pertanyaan barusan, dan tumpahan kekesalan ketika dituntut untuk menikah oleh kedua orangtuanya.
Gw sebagai manusia berumur 21 tahun mulai kesenggol dikit dengan isu menikah. Udah cukup banyak temen seusia gw yang tunangan dan menikah, gak sedikit temen gw yang belum nikah merasa bahwa dikit lagi adalah waktunya menikah, dan beberapa tahun kedepan kami si generasi 97 akan mendapatkan pertanyaan menyebalkan "kapan nikah?" yang mungkin lama kelamaan akan terdengar menyebalkan.
Mungkin nantinya kekesalan gw sama orangtua karena mereka minta gw buat bersihin kamar berubah jadi kekesalan karena diminta untuk ngenalin calon pasangan. IDK! bisa aja terjadi. Karena mereka tipikal "aduh gimana itu belum menikah" pada sepupu yang sudah cukup berumur dan belum mengenalkan pasangannya. Problematika dimasa yang akan mendatang.
Gak, gw gak memandang pernikahan sebagai sesuatu hal yang negatif, terus seolah gw menghindarinya. Gw mau nikah, tapi gw gak suka dengan ide menikah karena kebutuhan, menikah karena harus menikah, dan menikah karena perempuan membutuhkan sosok laki-laki yang menjaga/menafkahi dan omong kosong lainnya. Gw juga gak berbicara menikah dari sudut pandang agama, karena kalo udah mengacu kesana, seolah bernafaspun manusia salah.
Gw tidak pernah masalah dengan sekumpulan orang yang memandang pernikahan sebagai sebuah pencapaian hidup yang sangat penting. Setiap orang memiliki perdebatan dirinya masing-masing dan setiap orang memiliki cara tersendiri untuk hidup sebagaimana yang diinginkannya.
Tapi gw adalah bagian dari sekelompok orang yang memandang pernikahan lebih dari sekedar menggantungkan diri pada pasangan.
"Laki-laki yang hebat adalah laki-laki yang senang dan mendukung ketika pasangannya sukses, bahkan lebih sukses dari dirinya"
Photo : http://www.shedoesthecity.com/psychopath |