Adikku Hana (Cerpen)
Umurku dan adikku Hana berbeda tujuh tahun. Kami dekat, tetapi seolah saling memilih untuk menjaga jarak. Hana semakin menutup dirinya dan aku asyik berkutik dengan perkuliahanku. Perbincangan mendalam terakhir kami terjadi pada saat acara keluarga tahun lalu. Saat itu tiba-tiba Hana menghampiriku dan bertanya "jaman lo dulu, jadi anak SMA tuh gimana sih rasanya, mbak?".
Karena begitu mendadak, aku hanya bisa menjawab bahwa sama seperti apa yang ia rasa. Perbincangan kami selesai dengan Hana yang berkata "kalo gitu jadi anak SMA itu tai banget ya mbak, gw gak suka". Aahh mungkin seperti aku dulu, sedang merasa lelah dan ingin cepat-cepat menikmati bangku kuliah yang selalu diidamkan anak SMA.
Sejak saat itu perhatianku mulai kembali kepada Hana. Aku suka berhenti di depan kamarnya hanya untuk mendengarkan lagu apa yang sedang ia putar. Saat dia lewat di hadapanku, aku mengalihkan beberapa detik pandanganku dari laptop dan memperhatikannya yang pergi menjauh. Aku jadi penasaran dengan kegiatan yang adikku jalani setiap hari, dunia apa yang sedang ia hadapi.
Di suatu malam aku memberanikan diri untuk melewati batas yang terbentang begitu saja di antara kami. Aku masuk dan duduk di bangku kamarnya. Kami pun mulai berbincang.
Aku melihat sekitar kamarnya dengan teliti, dinding kamar Hana dihiasi beberapa poster band favoritnya. Aku terlalu gengsi, aku beralasan sedang melakukan sebuah penelitian mengenai kehidupan anak remaja dan aku membutuhkannya untuk memberikan informasi. Aku melakukan ini karena tiba-tiba merasa bersalah, mungkin selama ini Hana mengharapkan kehadiranku sebagai temannya untuk bercerita.
Belum sempat mendapatkan gambaran kehidupannya, ia memintaku untuk berbicara kepada ibu agar diizinkan pindah sekolah. Hana bilang mereka membencinya, tidak mau berdekatan, apalagi membantunya menyelesaikan tugas Matematika. Aku yang membayangkan kehidupan SMA tanpa teman, langsung menyetujui membantunya untuk pindah sekolah.
Sejak hari itu, perbincangan di malam Sabtu menjadi agenda wajib kami. Aku merasa bahwa kami mulai saling terbuka satu sama lain. Hana mulai menceritakan kejadian-kejadian yang membuatnya ingin sekali pindah sekolah secepatnya.
Hari pertama Hana masuk ke SMA, ia mendapatkan tatapan sinis dari teman seangkatan dan sebagian kakak kelasnya. Gosip beredar bahwa Hana mencoba mendekati salah satu senior yang menjadi idaman di sekolah. Terdengar seperti cerita teenlit, tetapi mungkin saja terjadi.
Sejak saat itu Hana merasa dicap sebagai anak kecil yang tidak tahu diri. Setiap Hana ingin ke kantin membeli makanan, semua orang menatapnya dan mulai berbisik. Hana tidak merasa ada yang salah dalam dirinya dan tidak tahu mengapa kebencian orang-orang semakin mendalam dan tidak beralasan.
Hana menjadi siswa yang suka menyendiri di kelas dan menghabiskan waktu istirahat untuk makan bekalnya dalam diam, berharap hari cepat usai. Tidak hanya sampai di situ saja, kata adikku ia sering mendapatkan kertas kecil dengan tulisan mencemooh yang ditaruh di laci meja serta lokernya. Hana hanya bisa diam, ia sempat mengadukan kekhawatirannya kepada guru, namun hanya dianggap angin lalu.
Aku juga bertanya-tanya mengapa Hana tidak mau bercerita kepada ibu, tapi dia bilang, dihadapan ibu, semua teman-teman Hana bersikap manis. Bahkan ibu kami berteman dekat dengan beberapa orangtua mereka. Hana yakin ibu tidak akan percaya, hal inilah yang membuat Hana ingin pindah sekolah dengan alasan sekolahnya terlalu jauh dari rumah.
Adikku korban perundungan, sudah hampir dua tahun ia berada di lingkungan yang tidak pernah menerimanya. Aku tidak habis pikir, dengan alasan bodoh Hana mendapatkan perlakuan buruk terus menerus, dan tidak ada orang dewasa yang mulai menghentikannya. Hatiku ikut terluka setiap mendengar bagaimana mereka memperlakukan adikku di sekolah.
Keinginanku untuk mengetahui kehidupan Hana semakin mendalam, aku mulai menjelajahi Instagram dan Twitter teman-teman Hana. Tidak sulit mencari keberadaan mereka, Instagram OSIS menjadi ladang makmur untuk melihat satu persatu orang yang selama ini Hana ceritakan.
Mereka terlihat seperti remaja pada umumnya. Salah satu foto memantik amarahku, terlihat seperti foto bersama di kelas dengan gaya dan posisi acak. Hana ada di sudut kanan foto, duduk dan melihat temannya dengan tatapan takut. Mereka bahagia di atas penderitaan adikku.
Hana melarangku untuk datang ke sekolah atau ikut campur terhadap ketidakadilan yang ia dapatkan. Ia hanya ingin pindah sekolah setelah tahun ajaran ini selesai. Adikku tidak pernah tahu bahwa aku sudah dua bulan memperhatikan aktivitas mereka di sosial media.
Sesekali Hana cerita mengenai tweet yang dibuat teman sekelasnya, aku berpura-pura tidak tahu, tetapi aku sudah membacanya lebih dulu sebelum ia bercerita. Tuduhan dan sindiran mereka di Twitter tidak main-main.
Tidak tahu diri, sok cantik, mending mati aja, dan kata-kata kejam lainnya mereka sebarkan. Dibalas dan ditertawakan oleh teman-teman lainnya di kolom komentar. Walau tidak menyebut nama, aku yakin itu ditujukan untuk adikku. Aku semakin geram melihat tingkah mereka.
Hana bercerita bahwa bisikan teman-temannya di sekolah mulai mengganggunya hingga dunia mimpi. Ia sering merasa ketakutan di kamar, merasa sedang dihakimi.
Di suatu malam Hana mengetuk kamarku dengan keras, ia berlari bersembunyi di balik selimut dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya. Napasnya menderu keras, Hana meringkuk, memejamkan mata, dan menutup kedua telinganya. Tangannya yang gemetar berusaha untuk meraih telepon genggamku, membuka aplikasi pemutar musik dan menyalakan lagu sekencang mungkin.
Aku yang masih setengah mengantuk, berusaha memperhatikan gerak gerik Hana. Ia berbicara lirih "hp ku mati mbak, hp ku mati" dan kembali menempelkan telepon genggamku ke telinganya. Aku memeluk Hana yang mulai tenang.
Setelah lima belas menit kami hanya diam, Hana melepaskan pelukanku, ia berjalan tergesa-gesa meraih cas hp ku yang masih tertancap. Ia duduk dengan wajah risau dan terus berusaha menyalakan hp-nya.
Setelah berhasil menyala, Hana memainkan lagu yang tadi ia nyalakan di kamarku, kali ini menggunakan pengeras suara. Aku menyadarinya, lagu ini yang Hana putar setiap malam. Yesterday - The Beatles.
Kami tidak pernah membahas kejadian di malam itu. Hanya terjadi sekali, di malam-malam setelahnya aku hanya mendengar lantunan lagu yang keras dari kamarnya. Aku mulai menanyakan kondisi adikku ke teman yang mengambil jurusan psikologi, mereka berpendapat mungkin perlakuan teman-teman adikku sudah keterlaluan dan meninggalkan ketakutan yang besar.
Aku mulai melempar keberatan atas keinginan adikku agar aku tidak ikut campur secara langsung, tetapi aku mengikuti keinginannya. Setiap hari aku memutar otak agar bisa merebut kembali keadilan untuk adikku.
Aku membuat e-mail baru untuk menjadi pengguna tersembunyi di sosial media. Aku mengikuti teman-teman Hana di Twitter dan Instagram. Jariku dengan lincah mengetik, mengirimkan pesan kepada mereka, mengingatkan buruknya perilaku bully. Sebagian besar dari mereka hanya menjawab dengan "hah?" atau bahkan hanya membaca pesanku.
Lama kelamaan pesanku mulai bernada marah dan menjatuhkan. Salah satu dari mereka yang paling aku benci bernama Shinta, ia terlihat jahat dan sering menyindir di sosial media.
Aku mulai terobsesi dengannya dan mencari tahu kehidupan pribadi Shinta secara mendalam. Aku mengumpulkan foto dan video Shinta yang terlihat memalukan. Aku edit dan aku cemooh, aku sebarkan di Instagram buatanku.
Unggahan-unggahan itu mengundang cukup banyak perhatian Komentar di Instagramku penuh dengan pertanyaan dan dugaan siapa aku. Shinta yang tadinya hanya diam, mengirimkanku pesan. Ia memohon agar aku menghapus dan menutup akunku.
Aku selalu balas pesan Shinta dengan kata-kata "berhenti mempermainkan dan menertawakan orang lain". Aku menyebarkan teror yang sama ke teman-teman Hana lainnya, namun Shinta tetap menjadi perbincangan hangat di Instagramku.
Hana tidak menceritakan kegaduhan itu, ia cuma sempat berkata bahwa ada akun yang menyerang teman-temannya dan membuat situasi sekolah memanas.
Berminggu-minggu kami tidak lagi membahas mengenai persoalan adikku di sekolah, ia sedang sibuk belajar untuk ujian kenaikan kelas dan bersiap pindah sekolah setelah akhirnya disetujui oleh ibu.
Aku merasa kami kembali berjarak, Hana tidak lagi bercerita dan aku sering melihatnya memberikan tatapan sinis kepadaku. Ia juga menghindar dariku, ia berkata tidak lagi bisa mempercayai siapapun. Hana pasti sedang kedatangan tamu bulanan.
Cerita terakhir Hana kepadaku adalah tentang dua temannya yang pindah sekolah sebelum ujian mulai. Perlakuan Shinta dan teman-teman lainnya benar-benar memuakkan. Aku hanya diam, aku tidak lagi aktif di Instagram buatanku itu, aku rasa sudah cukup ketakutan yang ku berikan, toh sebentar lagi Hana akan pindah.
Hari itu tiba, pembagian raport terakhir Hana di sekolah. Aku menemani Hana karena ibu berhalangan hadir. Hana meminta untuk berjalan lebih dulu dan aku menyusul beberapa menit kemudian. Aku mengikuti keinginannya.
Aku berjalan menyisiri isi sekolah, mengenal beberapa wajah dari Instagram buatanku. Aku melihat Hana dari kejauhan berjalan melewati taman sekolah. Hana jalan agak membungkuk, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya merapihkan rambut.
Hana menunjukkan gestur tubuh seperti ingin menghindar dari kehadiran orang lain di dekatnya. Aku berlari dan memegang pundak Hana, ia jongkok dan menutupi telinganya. Aku meremas pundak Hana, kepalaku memutar mengitari sekeliling, tidak ada siapapun di dekat kami.
Kondisi Hana semakin tidak terkendali, aku dapat merasakan ketakutan yang adikku rasakan. Aku langsung menarik tangannya dan kembali ke mobil. Berkali-kali aku bertanya, kenapa? ada apa? dan Hana menjawabku dengan kata-kata yang tidak bisa ku dengar dengan jelas. Aku berusaha memahami kalimatnya yang terpotong "lo bagian dari mereka, lo sama" aku semakin bingung.
Hana mulai histeris "lo liat kan mbak? Mereka ngetawain gw, mereka nunjuk gw, mereka bilang gw cupu, mereka benci gw, dan lo bantu mereka". Aku mengguncangkan tubuh Hana, aku tidak mengerti ucapannya. Hana mulai mengacungkan jari ke depan mobil kami, ia berkata mereka menertawakan kami dari luar mobi.
Aku menoleh ke Hana dan melihat ke depan, tidak ada siapapun."Han??? Mana????". Hana semakin histeris ketakutan, aku langsung meninggalkan sekolah dengan perasaan bingung. Aku membawanya ke rumah sakit, yang ku tau mungkin dokter bisa memberikan obat atau apapun yang bisa membuat Hana tenang.
Ibu datang dan menenangkan, memintaku untuk kembali ke sekolah mengambil raport dan menyelesaikan urusan administrasi perpindahan Hana. Fokusku terbagi dua, tangan kanan ku memegang kendali mobil dan tangan kiriku sibuk membuka Instagram, menghapus semua unggahanku, menghapus seluruh pesan di Instagram ku.
Setengah berlari aku menemui wali kelas Hana, Ibu Mariam, sedang bersiap-siap untuk meninggalkan sekolah. Kakiku yang tidak berhenti bergerak mengisyaratkan agar proses pengambilan raport ini segera selesai. Ibu Mariam menjelaskan kepintaran Hana di kelas, ia juga mengatakan bahwa Hana suka sekali menyendiri, dan sulit untuk didekati.
Perbincangan kami selesai dengan aku yang masih duduk terdiam. Ibu Mariam meminta izin untuk meninggalkan ruangan terlebih dahulu, berjalan membawa bunga untuk menghadiri pemakaman teman sekolah Hana yang meninggal karena menjadi korban perundungan di sosial media.