Selasa, 28 Januari 2025



Hiruk pikuk kota Jakarta tidak pernah menghentikan langkah para penakhluknya. Membelah keramaian jalan Sudirman, berperang menyalip pengendara yang seenaknya, berdempetan bersama penumpang kereta lain tanpa perlu berpegangan. Semua demi Jakarta, si penyambung hidup bagi begitu banyak manusia. Bagiku Jakarta tidak hanya tentang tempat untuk mencari uang, hubunganku dengan Jakarta lebih romantis dari yang aku kira. 

Aku duduk manis di belakang, melihat perjuangan temanku yang lihai menyalip deretan mobil tanpa ujung. Sudah 15 menit tubuh kami berdinamika bersama mencari jalan pintas khas Jakarta yang sempit. Telepon genggam masih menyala, terbuka laman pemutar musik, namun belum ada satupun lagu yang berhasil dipuar. "Lagu apa ya yang paling tepat sama perjalanan ini" pikirku. Semakin dicari, semakin tidak ketemu. Aku menyerah dan memasukkan benda berharga itu ke dalam tas sebelum ada yang merampasnya. 

Memang ajaib teknologi, mampu membuat kita lupa akan kehidupan yang sedang berjalan di depan mata. Menjauh darinya sesaat membuatku lebih hadir. 

Aku menoleh ke sekeliling tempat kami terjebak kemacetan, ada perasaan aneh yang menyergap tiba-tiba. Kilas balik memori muncul silih berganti tanpa bisa dihindari. Perjalanan, tawa di dalam mobil, lantunan lagu-lagu yang sempurna, McDonalds tengah malam, dan kehidupan ringan tanpa beban. Mataku mulai terasa hangat, tanpa disadari aku menutupinya seolah mencegah agar mereka tidak merespon berlebihan. Aku hanya melihat deretan mobil, halte bus, nama jalan yang dulunya tidak pernah aku hiraukan, yang aku pikir tidak memberikan makna apa-apa. 

Momen itu menyadarkanku bahwa aku sudah terlalu banyak menorehkan cerita indah dan pahit di Jakarta. Jalan besar hingga kecil di pelosok Jakarta rasanya pernah aku lalui. Bersama satu atau dua orang yang berbeda, bersama rasa sedih, bahagia maupun luka, bahkan hanya berdua bersama imajinasi liarku di kepala. 

Perasaan aneh itu berganti menjadi perasaan hangat yang menyenangkan. Aku menikmati kehadiran memori indah dan sakit yang muncul bergantian, hingga akhirnya ada satu kenangan kuat yang seolah mendesak diberi perhatian.

Sebelas tahun lalu, di dalam sebuah bus antar kota, aku dan kedua orangtuaku duduk berdampingan sambil memperhatikan jalanan yang terlihat sangat panas. Hari itu rasanya berbeda, Bapak mengajak kami mencoba transportasi bus bersama-sama. Beliau bilang "kalau kamu jadi kuliah di kampus itu, kamu harus coba kira-kira gimana cara kamu ke kampus kalo naik bus, jadi kamu punya bayak opsi" katanya dengan penuh semangat. Saat itu aku dan kedua orangtuaku belum memutuskan aku akan berkuliah di mana, akupun perlu tahu seberapa jauh jarak tempuhku dari rumah ke kampus. Hari itu kami mengecek dua kampus. Satu kampus idamanku dan satu kampus idaman Bapak, Ibu setia mendampingi pencarian kami. 

Di bus kami sedikit banyak bercengkrama dan melemparkan candaan, berdiskusi terkait kampus yang mungkin akan aku pilih, bahkan terselip sedikit argumen kencang. 

Hari itu adalah pertama kalinya aku melihat Jakarta dari sisi yang berbeda. 

Tinggal di kota penyanggah Jakarta membuatku tidak terlalu sering menghampirinya. Yang selalu aku ingat Jakarta adalah tempat Bapak bekerja, tempat Ibu berbelanja, dan tempat keluarga besar berkumpul bersama. Namun untuk pertama kalinya aku akan memasukkan Jakarta ke dalam garis hidupku yang lebih jelas dan personal, Jakarta akan menjadi topik utama dalam keseharianku. Terlalu sering mendengar betapa kejamnya Jakarta, namun lucunya hampir tidak ada rasa takut dengan kenyataan bahwa sesaat lagi aku akan berduel dengan Jakarta. Mungkin karena perjalananku untuk menghadapi Jakarta dimulai dengan perjalanan kami hari itu. Perkenalanku bersama Jakarta rasanya jadi sangat menenangkan karena ada mereka yang membantu langkah awalku. Ada mereka yang memberikan keyakinan sehingga membuatku percaya bahwa di Jakarta akan dimulai kisah perjalanan mengagumkan yang tidak akan pernah aku lupakan. 

Kenangan itu singgah sesaat, kemudian tergantikan dengan kenangan lainnya. 

Hari di mana aku pergi ke Jakarta untuk masa pra bimbingan mahasiswa baru. Langit masih gelap, jalanan lowong, aku duduk melamun setengah mengantuk di dalam Taxi yang dingin dan nyaman. Di depan ada Bapak yang menemaniku, mengantarkanku mencapai gerbang kehidupan baru, kehidupan mahasiswa. Ada rasa semangat dan cemas yang bercampur aduk.

Taxi berhenti di gerbang kampus, kami turun dan saling bertatapan. Beliau memberikan kata-kata semangat dan nasihat agar aku pintar-pintar menjaga diri. Momen itu terputus dengan kenangan aku yang meletakkan tangan Bapak di dahiku. 

Mataku tidak mampu lagi menahan bendung tangis, pipiku basah dibanjiri kenangan manis itu. 

Belum puas mataku mengekspresikan sedihnya, kenangan lainnya muncul perlahan.

Kenangan saat Bapak dan Ibu datang ke kampus untuk menghadiri pertemuan orangtua. Aku melihat mereka dari kejauhan, berjalan berdampingan, mengenakan batik rapih, dan menghampiriku yang sedang duduk di lantai mengerjakan projek kuliah bersama teman-teman. Entah mengapa aku bisa melihat ada rasa bangga yang tertanam di hati dan di benak mereka. Mungkin karena melihatku yang betul-betul sudah menjadi mahasiswa, mungkin karena rasa bangga mampu menguliahkanku di tempat terbaik yang aku inginkan, atau entah apalah itu. Yang jelas aku melihat mereka bahagia bisa hadir untukku. 

Kami menutup hari itu dengan jalan-jalan di mall dekat kampus, memesan nasi pecel yang biasanya aku pesan, membicarakan hal-hal serius sampai aneh. 

Kenangan itu buyar seketika karena suara klakson panjang yang memekakan telinga. Aku termenung, air mataku semakin deras berjatuhan. Aku merindukan Bapak yang selalu hadir di setiap transisi kehidupanku, sosok yang kini hanya bisa aku kenang dalam pikiran dan hatiku. Sosok yang raganya sudah tidak bisa aku rengkuh, tangannya sudah tidak bisa aku raih, pelukannya tidak bisa aku rasakan, harumnya sudah tidak bisa lagi aku cium, dan suaranya yang perlahan mulai memudar. 

Otakku beputar mencoba untuk memberi penghiburan, muncul kenangan-kenangan indah bersama pacar ataupun sahabat. Senyum tipis mulai menghiasi wajahku. 

Saat itu aku dan ketiga teman kelompok sekaligus sahabat hidup berjalan menyusuri halte bus Transjakarta. Aku masih ingat wajah was was salah seorang teman yang mengaku belum pernah sekalipun mencicipi Transjakarta, kami berlomba untuk melindungi teman itu, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, berharap ada rasa nyaman yang timbul di dalam hatinya. 

Sampai di tempat tujuan kami berempat turun dari Transjakarta dengan riang gembira, menuju satu hotel yang telah kami pesan beberapa hari sebelumnya. Sebelum check in, kami mampir untuk belanja sedikit camilan, berharap kehadirannya dapat sedikit menghibur isi kepala yang kalut. Setelah membuka pintu kamar, kami setengah berlari berhamburan ke kasur dan mencari tempat ternyaman. Terdengar suara laptop yang dinyalakan secara bersamaan. "Lo sempurnain latar belakang ya, gw mau ke Bab 2 dulu" tutur salah seorang teman. 

Hotel identik dengan istirahat dan berlibur kami mencampuradukkan kebahagiaan itu dengan beban tugas besar yang harus kami selesaikan sebelum esok hari datang. Empat mahasiswa bau kencur berpikir menginap di hotel adalah keputusan terbaik agar paper ini selesai dengan sempurna. Ketegangan itu terkadang hadir bergantian dengan gelak tawa dan rasa frustrasi. Malam hari salah satu Ibu di antara kami datang membawakan banyak makanan, kami menikmatinya dengan senang hati. 

Aku tertawa mengingat kenangan itu. Seru sekali ya hidup disokong orangtua. Kenangan itu memudar saat mengingat pagi harinya kami terseok-seok berlari untuk mencapai kampus.

Kenangan lain hadir lagi tanpa permisi.

Hari-hari di mana aku dan sahabat membelah Jakarta untuk mencari kesenangan. Pagi, siang, sore, tengah malam. Teringat jelas tawa renyah di antara kami, musik kencang yang kami nyanyikan bersama-sama. Halim, Kemang, Cipete, Bundaran HI, Gading, Cibubur, dan pecel lele dekat rumah salah seorang teman. Malam hari biasa dengan night ride untuk sedikit melupakan tugas kuliah, malam luar biasa dengan hiruk pikuk musik dan tawa kencang, malam hari dengan duduk makan bersama di meja makan keluarga salah seorang sahabat. 

Satu kesamaan dari semua kenangan di atas adalah ringan. Jakarta saat itu bak kantung plastik berisi satu butir telur. Ada beban, tetapi sungguh tidak berarti apa-apa. Jakarta saat itu dihadapi oleh aku dan sekelompok teman yang hidupnya hanya tentang menciptakan momen-momen membahagiakan. Satu-satunya tantangan kami hanya kuliah. Jakarta ringan karena bebannya masih dipikul oleh orangtuaku. Jakarta ringan karena saat itu aku belum memaknainya sebagai tempat untuk beradu nasib. 

Jakarta terasa lembut karena ada Bapak dan Ibu yang memperkenalkannya dengan bahasa dan cara yang indah. Ada sahabat-sahabat yang setiap detiknya selalu hadir, bersama-sama memuja dan memaki Jakarta. 

Jakarta bagiku adalah tentang orang-orang terkasih yang membuat hubunganku dengan kota ini menjadi begitu romantis.

Itu dulu. Kisah "romantis"ku bersama Jakarta kini sudah berbeda. Ada hal yang sudah berubah, dan mungkin aku juga. Warnanya tidak lagi hanya mejikuhibiniu. Kini, hubungan kami bukan lagi tentang romantisme, tetapi juga tentang benci dan cinta, khas sahabat lama. 

Jakarta.



Dea Astari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates