Sesendok Gula (CERPEN)
Kami duduk canggung berhadap-hadapan di antara dua gelas kopi panas yang memuntahkan kepulannya. Aku duduk dengan tegak, sesekali mencuri pandangan, ia menduduk dan sibuk memainkan jari-jarinya. Seolah saling bercengkrama lewat suara hati, kami nyaman terdiam menikmati suara helaan nafas. Dia berdeham dan melipat kemeja putihnya, menaruh jemari tangannya ke atas meja, aku bisa melihat ketakutannya untuk memulai pembicaraan. Tetesan-tetesan keringat yang turun di lehernya entah mengapa membuatku semakin iba. Dunia di sekitar kami masih berjalan dan kami lama terdiam hingga pagi hampir menjelang.
Kopi kami utuh tidak tersentuh, sudah dingin, kehadirannya hanya basa-basi. Aku tidak menyerah dan enggan melepas keheningan. Aku asik terdiam dan memperhatikannya yang sibuk merangkai kata di kepala. Ku lipat tangan ku karena udara di luar semakin dingin.
Sejujurnya kepala ku ikut berputar, menduga-duga kalimat apa yang akan ia lontarkan. Bagaimana caranya memecah keheningan. Apakah kali ini ia akan berdiri dan pergi lagi tanpa satu kata pun seperti terakhir kali?
Kaki ku mulai bergetar kecil, aahh lelah juga ya lama-lama. Aku mendudukkan kepala hampir sejajar dengan meja agar dia melihat bahwa aku berusaha untuk berbicara dengannya.
"Jangan! Aku bisa"
Mata ku terbelalak melihat tubuhnya mulai bangkit dari kursi. Aku diam dan menunggu sinyal tidak nyaman, bersiap untuk berdiri dan menemaninya.
"Aku mau meminta gula" ia melangkahkan kaki dengan canggung seraya mengangkat gelas kopi yang belum ia sentuh dengan tangan yang bergetar. Membuka pintu kedai kopi yang berembun karena terlalu dingin. Pelayan mengambil gelas di tangannya dan memasukan gula cair. Kami saling bertatapan dan aku bisa melihat bibirnya sedikit terangkat.
3 Juni 2015. Akhirnya, pasien ku berhasil memulai percakapan pertama dengan orang lain tanpa bantuan ku dan ibunya.