Entah masa kecil seperti apa yang gw lalui sehingga membuat gw memiliki batas sabar seluas samudera. Entah rasa sakit sebesar apa yang pernah gw rasakan sampai sesulit itu untuk gw menghentikan sebuah hubungan pertemanan. 

Apapun itu alasan di baliknya, gw tumbuh besar menjadi manusia yang punya seribu maaf. Butuh jutaan rasa sakit yang menusuk di hati gw, sampai gw dengan gagah berani memutus pertemanan itu. 

Dan sekarang, untuk kedua kalinya dalam hidup, sepertinya gw akan memutus lagi jembatan pertemanan yang pernah gw miliki. 

-

Mungkin dibandingkan marah, rasa sakit yang lebih tidak bisa termaafkan adalah rasa kecewa. Tentu bukan hanya satu atau dua kali saja rasa kecewa yang gw rasakan untuk gw berhenti berharap sebuah pertemanan kembali utuh, tetapi butuh satu momen kecil yang menusuk ke relung hati terdalam. Hanya satu momen kecil yang membuat gw berpikir "oh, lo udah keterlaluan sih"

Momen itu sudah terjadi. 

Rasa sakit dan kecewa itu masih perih seperti luka yang belum diobati. 

Tanpa diminta rasa itu sesekali mengintip keluar, membuat hari yang tadinya tenang menjadi bergejolak tak menentu.

Rasa sakit itu masih ada, masih terpatri jelas sampai detik ini, saat tulisan ini dibuat. 

Pada hari itu, hari di mana semua rasa sakit dan kesadaran hadir ke hati dan pikiran. Hari di mana semua pertanyaan akhirnya terjawab tanpa perlu mendengarnya langsung keluar dari mulutnya. 

Hari di mana gw memutuskan bahwa ini adalah akhir dari cerita kita sebagai seorang teman.

Rasa cinta ini akan selalu ada. Rasa rindu akan semua momen yang sudah lewat juga akan selalu ada. Namun sejak hari itu, gw memutuskan untuk membiarkan rasa-rasa itu menjadi sebuah kenangan yang tidak perlu lagi dikenang, apalagi diulang.

Makasih deh pokoknya! ^^