Kamis, 27 September 2018



Kalau kalian mengenalnya tiga tahun terakhir, saat sudah menjadi mahasiswa, kalian mengenalnya dalam versi yang jauh lebih baik. Kalau kalian merasa tidak suka dan benci dengan dirinya yang baru kalian kenal tiga tahun terakhir, berarti kalian akan semakin membencinya dulu, sebelum dia mengenal dunia perkuliahan.
Kalau kalian mengenalnya sejak sebelum dia berkuliah, bahkan sebelum dia menginjak bangku SMA, kalian pasti tahu seberapa besar perubahan yang terjadi dalam dirinya. Kalian seharusnya lebih menyukainya dalam versi terbaru, versi lebih baik.

Dia adalah manusia emosional yang sering membuat orang bingung akan perubahan emosinya yang terlalu cepat. Mudah marah, mudah bahagia, tiba-tiba menjadi pendiam, tiba-tiba riang setengah mati. Tidak, dia tidak apa-apa, baik-baik saja. Jangan berusaha mendiaknosa.
Emosi negatif yang ia miliki semakin parah apabila ia berhadapan dengan keluarganya. Sedangkan emosi negatif lebih bisa ia pendam ketika berhadapan dengan teman-temanya.
Dia versi dulu adalah si cuek tidak tahu diri yang masa bodo dengan perasaan oranglain, yang tidak perduli jika kehilangan teman, yang merasa tidak perlu untuk memahami perasaan oranglain, dan berusaha memaksakan caranya dalam melihat sesuatu. Enggan memahami kondisi oranglain, memahami maksud oranglain.
Bodo amat adalah satu kata paling menggambarkan dirinya di masa SMA. Mungkin beberapa teman disekitarnya kesal dan malas dengan ketidakpeduliannya akan dunia sekitar. Terkadang ia bukannya tidak paham, hanya saja memilih diam dan berpura-pura tidak tahu. Terlalu malas untuk menjaga hubungan baik, terlalu malas untuk berusaha meluruskan sebuah masalah, ketidakpeduliannya mengantarkannya menjadi orang yang berperilaku sesukanya.

Dia senang, dia bangga akan kemampuannya menjadi si cuek tak berperasaan. Ia bangga karena tidak harus pusing dan lelah menjadi overthinking. Ketidakpeduliannya mengantarkannya pada rasa damai tak terhingga, karena hal-hal besar tidak pernah ia permasalahkan, dan hal-hal kecil adalah debu yang tak berarti.

Beranjak ke dunia perkuliahan, begitu banyak perubahan yang menghantam dirinya. Begitu banyak kesadaran yang selama ini tidak ia perdulikan. Ia berubah menjadi manusia yang perduli akan pencapaian masa depan, akan nilai yang diterimanya di kuliah, dan ambisinya menjadi sukses, serta perduli dengan tugas-tugas yang diberikan.
Ia tidak lagi menjadi si santai tak berperasaan. Ia kerap kali pusing hanya karena takut tidak dapat mencapai nilai yang ia harapkan. Ia selangkah menjadi pribadi yang berbeda.

Semakin lama ia mempelajari banyak ilmu baru di psikologi, semakin dalam pula ia mengenali dirinya sendiri. Berbagai macam dugaan muncul dikepalanya mengenai alasan mengapa dirinya memiliki sikap-sikap tertentu. Semakin ia berusaha memahaminya, semakin banyak jawaban yang ia dapatkan, dan membuatnya semakin sadar bahwa mencapai sebuah perubahan tidak hanya sebatas tahu bagaimana caranya, tetapi lebih besar daripada itu semua.
Ia mulai memahami apa itu empati, apa itu keterbukaan, apa itu perduli, dan segalanya terinternalisasi dengan baik kedalam dirinya tanpa ia minta.

Suatu hari ia pernah duduk di peron dan menunggu kereta. Tatapannya kosong memandang langit yang sudah hitam. Tiba-tiba ia merasa begitu tertekan atas kepekaannya kepada oranglain, atas keperduliannya kepada oranglain. Ia begitu mendambakan dirinya yang cuek. Ia begitu menyesali perubahan dirinya yang menjadi peka dan sensitif. Ia merasa lelah dengan semua perasaan baru yang ia miliki, karena ia harus lelah memikirkan hal yang bahkan dulunya tidak pernah menjadi masalah.
Kini ia sudah terbiasa dengan dirinya yang tidak lagi bisa mengabaikan orang-orang disekitar, tidak lagi bisa seenaknya tanpa memikirkan oranglain.

Beberapa orang disekitarnya merasakan perubahan luar biasa dalam dirinya. Mereka menganggap bahwa dia menjadi jauh lebih baik. Seorang pendengar, pemberi masukan, dan pemberi semangat yang cukup ampuh. Keterbukaan, kepekaan, dan empati yang ia miliki mengantarkannya menjadi pribadi yang jauh lebih bisa menempatkan diri. Ia mampu melihat kondisi oranglain, seolah berdiri di sepatu yang oranglain injak. Jauh dari menghakimi, seperti dia dimasa lalu, kini dia selalu berusaha memahami hati dan perasaan oranglain tanpa perlu bersusah payah.

Masih banyak perubahan lainnya yang ia rasakan dan sulit untuk diungkapkan satu persatu. Bertambahnya umur, mempelajari psikologi, pengalaman berorganisasi, dan berkembang di lingkungan yang tepat menggiringnya menjadi pribadi dalam versi yang jauh lebih baik.

Kini jika ada yang bertanya, masuk psikologi? mau jadi apa? 
Jawabannya...
Mau jadi lebih baik.
Mempelajari psikologi membantu memahami diri sendiri dan mengembangkan potensi diri menjadi lebih baik

JIKA memang menghendakinya.



Dea Astari . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates